Sainskita.com - Sebuah studi baru oleh tim peneliti di University College London (UCL) Inggris mengungkapkan ada 203 gejala long COVID, kondisi di mana gejala bertahan selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan setelah pasien dinyatakan sembuh dari infeksi COVID-19.
Penelitian yang dipublikasikan di Lancet's EClinicalMedicine tersebut didasarkan pada survei web yang dibagikan di seluruh grup pendukung COVID-19 online Body Politic.
Tim menerima tanggapan dari 3.762 peserta yang memenuhi syarat dari 56 negara. Mereka mengidentifikasi ada 203 gejala long COVID yang mempengaruhi 10 sistem organ dalam tubuh.
Gejala yang paling banyak ditemukan atau dilaporkan adalah kelelahan, post esertional malaise (memburuknya kondisi kesehatan seseorang setelah mengalami tekanan fisik atau mental) dan brain fog (tak bisa berkonsentrasi, linglung).
Gejala lain yang ditemukan peneliti berdasarkan studi ini yaitu disfungsi seksual, halusinasi visual, tremor, kulit gatal, perubahan siklus menstruasi, jantung berdebar, masalah kontrol kandung kemih, herpes zoster, kehilangan memori, penglihatan kabur, diare, dan tinnitus.
"Ini adalah karakterisasi paling komprehensif dari gejala long COVID sejauh ini," ujar penulis utama dalam studu ini, Dr Athena Akrami, seorang ahli saraf di Sainsbury Wellcome Center di UCL, seperti dilansir dari IFLSience, Senin (19/7/2021).
“Untuk pertama kalinya penelitian ini menyoroti spektrum gejala yang luas, terutama neurologis, lazim dan persisten pada pasien long COVID. Disfungsi memori dan kognitif, yang dialami oleh lebih dari 85% responden, adalah gejala neurologis yang paling pervasif dan bertahan, sama-sama umum di semua usia, dan dengan dampak substansial pada pekerjaan,” imbuhnya.
Para ilmuwan menemukan dari 3.762 responden long COVID, kemungkinan gejala tersebut berlangsung selama delapan bulan adalah 91,8%. Rata-rata, pasien yang memberikan informasi tentang gejala mereka selama setidaknya enam bulan mengalami sekitar 56 gejala dari 203 gejala yang tercatat.
Hampir 9 dari 10 peserta mengalami kekambuhan, dengan aktivitas fisik dan mental, serta stres, menjadi pemicu utama. Para peneliti menyerukan lebih banyak yang harus dilakukan untuk mendukung orang-orang yang menderita kondisi tersebut, karena pemerintah tidak melakukan cukup banyak.
“Seiring dengan gejala pernapasan dan kardiovaskular yang terdokumentasi dengan baik, sekarang ada kebutuhan yang jelas untuk memperluas pedoman medis untuk menilai rentang gejala yang jauh lebih luas ketika mendiagnosis long COVID,” jelas Dr Akrami.
Baca Juga: Penis Dapat Menyusut Seiring Bertambahnya Usia, Ini Cara Mencegahnya
“Selain itu, kemungkinan ada puluhan ribu pasien long COVID yang menderita dalam diam, tidak yakin bahwa gejala mereka terkait dengan COVID-19,” ujarnya. [fru]